Seorang professor sejarah tentang perbudakan di Amerika Serikat pernah menulis sebuah artikel yang mengungkap rasa prihatin tentang ‘merosotnya perhatian terhadap sejarah’ di negeri tersebut, dan menyayangkan sikap yang muncul di antara guru dan intelektual terkemuka di negeri tersebut yang menyatakan ‘biarlah tirani masa lalu berlalu’ dan ‘mari menyongsong masa depan yang lebih segar’.
Sang professor itu menyatakan bahwa satu soal penting mengapa ia begitu peduli terhadap sejarah adalah sebuah keyakinan bahwa mahluk manusia berbeda dengan binatang yang hanya mampu berpikir tentang masa kini mereka. Perbedaan mahluk manusia dengan binatang adalah ‘kemampuannya melakukan refleksi—terhadap masa lalu, masa kini dan masa depan—dalam kehidupan mereka’. Dalam kaitan inilah mengapa pemahaman kita terhadap sejarah menjadi penting.
Bagi kita di Indonesia, nampaknya keprihatinan tersebut bukan barang baru. Para sejarawan di negeri ini telah mengeluhkan tentang buruknya kesadaran sejarah di negeri ini. Sejarah memang telah menjadi satu dari sekian banyak materi pengajaran yang dianggap paling membosankan di sekolah-sekolah dasar dan menengah di negeri ini. Sikap ini juga tidak sepatutnya disalahkan. Apabila ditanya persoalan sejarah, paling banter orang hanya bisa berpikir tahun, nama, dan tempat yang dihapalnya tanpa mampu bernalar terhadap masalah kesejarahan. Celakanya, rejim penguasa Orde Baru—dengan doktrin sejarah demi masa kini yang diplintir untuk kepentingan kekuasaan sesaaat—turut menyumbang kedangkalan nalar sejarah bangsa kita.
Salah satu bukti tentang kedangkalan berpikir itu, dan sekaligus menunjukkan contoh memalukan rendahnya kesadaran sejarah bangsa ini di bawah rejim Orde Baru adalah riwayat pelarangan terhadap buku-buku almarhum Pramoedya Ananta Toer. Kuartet novel sejarah yang ditulisnya—dan telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa—mengenai periode pergerakan Indonesia telah dicurigai sebagai virus yang membahayakan ‘kesehatan mental’ masyarakat Indonesia.
***
Tulisan ini berangkat pada sebuah pandangan bahwa sejarah—dan pemahaman atasnya—tetap merupakan unsur penting sebagai batu pijakan dalam meningkatkan kesadaran civic atau kesadaran menjalani kehidupan bersama sebagai warga negara negeri ini. Kita sepertinya terhenyak oleh sulitnya mengatasi konflik berlarut-larut seperti terjadi di Aceh dan Papua Barat atau dengan semakin memudarnya iklim toleransi di dalam masyarakat meskipun kita sekarang menghirup tatanan politik formal yang lebih demokratis.
Dalam setiap peristiwa atau setiap masalah, orang-orang Indonesia saat ini menjadi korban atas kebutaannya terhadap pengalaman kolektif masa lalunya dan terus menerus diajari oleh kekuatan lain dalam menyelesaikan rumah tangganya sendiri. Pernahkah kita mencoba belajar dan membaca kembali serangkaian riwayat pertentangan dan perkelahian politik yang pernah terjadi di negeri ini?
Nampaknya jawabannya tidak. Kita seperti tenggelam dalam hiruk pikuk masa kini. Kita sepertinya tidak pernah tahu bagaimana caranya mencari jalan keluar dari masalah mereka sendiri, dan dipaksa oleh keadaan bertindak dari titik nol, persis seperti layaknya mahluk binatang yang bergerak atas dasar insting semata. Inilah konsekuensi dari bangsa yang tidak pernah mampu belajar dan menarik kebijaksanaan dari pengalaman kolektifnya, baik yang tragis atau pun sebuah success-story.
***
Tulisan ini tidak bermaksud menghakimi atau menertawakan kebodohan kita sendiri. Persoalan lebih penting adalah bagaimana mencari jalan keluar dari situasi seperti ini? Bagaimana membuat masyarakat Indonesia menjadi bangsa yang sadar sejarah?
Tulisan ini tidak bermaksud menjadikan semua orang Indonesia sebagai ahli sejarah yang mumpuni. Apa yang diperlukan adalah sekedar kemampuan bernalar dan memahami lingkungan sekitar dalam lingkup kekinian sebagai produk berkesinambungan dari masa lalu yang tak pernah putus. Tetapi jelas ini bukan persoalan mudah. Dan juga menyangkut perombakan sistem yang sudah berkarat.
Apa yang ditawarkan dalam tulisan ini adalah prinsip-prinsip umum didaktika sejarah kita.
Pertama, prinsip didaktika kita mengenai sejarah sudah selayaknya bertolak pada satu prinsip bahwa apapun yang terjadi di masa lalu—dalam rentetan peristiwa—semua menyangkut prilaku dan perbuatan orang. Mengenal siapa orang-orang ini, bagaimana watak mereka, dan seperti apa hasil perbuatannya adalah kunci penting menuju masa lalu. Apabila sudah menyangkut manusia, sudah barang tentu prinsip didaktika itu mengenalkan juga bahwa terkadang egoisme dan keserakahan turut mempengaruhi tindakan setiap orang. Begitu juga sebaliknya. Sikap welas asih, perbuatan tanpa pamrih, dan kehalusan budi pekerti merupakan bagian dari kehidupan mahluk manusia. Didaktika sejarah harus mampu menunjukkan bahwa senantiasa ada pertarungan abadi antara nafsu serakah dan imperatif moral sosial yang mempengaruhi tindak-tanduk setiap orang. Ringkasnya, didaktika sejarah harus mampu menampilkan uraian yang tidak hitam putih dari masing-masing protagonisnya.
Kedua adalah sebuah didaktika sejarah yang dapat mengenalkan kita pada bentuk dan sifat kehidupan masyarakat lain. Riwayat ‘sejarah dunia’ dengan tanda petik, mau tidak mau menjadi unsur penting dalam proses didaktika ini. Orang Indonesia harus tahu apa itu peristiwa yang melahirkan holocaust di Jerman pada masa Perang Dunia II, peristiwa Revolusi Prancis yang melahirkan tatanan politik modern sekarang ini dan lain sebagainya. Bagaimana revolusi modern di dunia Arab terjadi. Didaktika sejarah harus mampu memadukan apa yang bersifat lokal, nasional dan internasional di masa lalu yang membentuk kehidupan kita sekarang ini. Dari sinilah kita mendapat sebuah cermin cermin yang baik untuk menilai diri kita sendiri dan memberikan kompas yang memandu langkah yang arif.
Kesadaran sejarah adalah sarana penting dalam mencapai sebuah tradisi civic, sebuah prinsip dasar hidup sebagai warga negara yang mampu hidup bersama dalam sebuah negara-bangsa. Didaktika sejarah dengan demikian menjadi pengantar yang membawa generasi muda kita untuk mengenal peristiwa-peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitar mereka, di tingkat nasional dan juga internasional menjadi relevan dalam kehidupan kekinian mereka. Misalnya, guru-guru sejarah yang terlibat dalam proses didaktika ini mampu mengarahkan sebuah pertanyaan terhadap muridnya tentang pengaruh Perang Dunia II terhadap kehidupan keluarga mereka di masa lampau, atau juga desa-desa di sekitar mereka? Mudah-mudahan kesalahan masa lalu tidak lagi berulang.
Sumber:
sejarah indonesia