Oleh: Benny Susetyo/suara pembaruan
Berbagai kasus menyedihkan mengiringi pelaksanaan ujian nasional atau UN, mulai dari kebocoran naskah, beredarnya kunci jawaban, perjokian hingga perdukunan. Seorang gadis di Jawa Tengah bahkan kehilangan kehormatannya hanya karena ingin lulus ujian. Berbagai kasus tersebut bukan merupakan peristiwa yang berdiri sendiri, melainkan suatu fenomena yang dipicu oleh landasan evaluasi pendidikan yang hanya mementingkan faktor materialistis.
Saat ukuran kemampuan siswa hanya ditetapkan melalui angka maka bukan kecerdasan dalam pendidikan yang menjadi orientasi pembelajaran, melainkan hanya sebatas simbol angka itu saja. Kualifikasi angka-angka itu menjadi amat penting dalam dunia pendidikan kita. Proses pembelajaran yang berusaha untuk mencerdaskan manusia berubah menjadi orientasi untuk mencari angka.
Pendidikan pun tak jauh seperti perdagangan yang mempersyaratkan jual-beli. Angka di bawah standar dianggap sebagai kegagalan total. Akibatnya, kehidupan dalam dunia pendidikan melulu dibatasi oleh simbolisasi ijazah, dan menghasilkan berbagai fenomena ironis untuk menghalalkan segala cara demi mendapatkan ijazah.
Kita telah melupakan teramat banyak substansi berpendidikan. Pendidikan bukan hanya sekadar media untuk menambah wawasan. Jauh lebih penting, pendidikan untuk menanamkan nilai-nilai. Pendidikan bukan sekadar pengajaran. Pendidikan bukan sekadar berkenaan dengan aspek kuantitatif saja, melainkan yang lebih urgen dikedepankan adalah aspek kualitatif siswa.
Sebagian kecil siswa yang berprestasi menjuarai olimpiade nasional atau internasional sama sekali tidak bisa dijadikan cerminan bahwa mengukur keberhasilan pendidikan semata-mata dari aspek kuantitatif. Keberhasilan dalam penanaman budi pekerti dan sikap jujur, kepedulian sosial, kemampuan bersosialisasi, dan berkreasi dalam lingkungan masyarakatnya, tidak bisa diukur dari keberhasilan siswa lulus dari ujian, apalagi dengan embel-embel 'nasional'.
Kritik terhadap pelaksanaan ujian nasional bertebaran di mana-mana. Namun, seolah-olah tidak mau mendengar dan menghargai berbagai protes yang marak di penjuru negeri ini, penguasa menutup telinga terhadap semua masukan.
Dalam wacana publik, pemerintah menutup semua kemungkinan yang diperkirakan oleh para pengkritik. Orientasi keberhasilan pendidikan hanya diukur dari patokan pemerintah. Aspek negatif dan positifnya, jangka pendek dan panjangnya tidak dikaji secara mendalam. Ini terjadi karena ruang publik sudah penuh dengan dominasi aspek kekuasaan. Politik pendidikan versi penguasa terjadi dalam berbagai bentuk dan kesempatan.
Topeng Kegagalan
Ujian nasional menjadi topeng kegagalan kebijakan yang menutupi rendahnya mutu pendidikan. Ujian nasional hanya sekadar pajangan, karena kelulusan hanya ditentukan dalam hitungan jam tanpa melihat proses belajar dan mengajar sebagai satu kesatuan.
Kebijakan pendidikan yang penuh unsur "kekuasaan" inilah yang membuat setiap kebijakan pendidikan pemerintah sepanjang reformasi ini terasa sangat dilematis dan penuh polemik. Perhitungan untung-rugi diselenggarakannya ujian nasional tidak pernah menemui kejelasan dan titik terang. Pemerintah bersikap rigid dan sebagian masyarakat bersikap skeptis.
Sikap penguasa demikian kaku, seperti baja, seakan-akan tidak mau dikalahkan, dikoreksi dan dikritik. Ini semakin menambah kebuntuan nalar berpikir yang jernih dan positif tentang apa keuntungan dan kerugian melaksanakan ujian nasional, lebih besar mana porsi persentasenya, serta bagaimana respons dan reaksi guru dan anak didik sebagai pelaku pendidikan itu sendiri.
Kebijakan pendidikan kita sejauh ini pada akhirnya hanya berhasil melahirkan "buah simalakama". Kontroversi dan polemik mengenai ujian yang diadakan di sekolah-sekolah se- olah tidak kunjung selesai dipermasalahkan. Para birokrat pendidikan, teknisi, dan praktisi pendidikan, serta masyarakat umum, masih saja harus bergantung pada kebijakan penguasa walau sering berbenturan dengan aspirasi masyarakat.
Pendidikan dibutuhkan tidak hanya sekadar untuk menghapal rumus atau transfer ilmu pengetahuan. Itu penting, tapi bukan yang terpenting. Yang terpenting dari mengapa pendidikan diselenggarakan adalah agar anak-anak bangsa lebih merdeka dalam menentukan pilihan, lebih berani dalam bersikap jujur, lebih kreatif dan memiliki solidaritas yang kuat.
Mutu pendidikan bukan hanya ditentukan oleh ujian nasional melainkan pada paradigma pendidikan itu sendiri. Selama ini kita sering menjadikannya sebagai tolok ukur prestasi, padahal secara substansial hal itu tidak pernah menjadi bukti. Justru pendidikan kita semakin terperosok karena kebijakan tersebut selalu dibarengi dengan perilaku tak terpuji, seperti, korupsi dan manipulasi anggaran. Kebijakan ini mengandung beberapa paradoks yang sering dirasakan tanpa disadari. Kebijakan ini juga merupakan cermin carut-marut dari keseluruhan kebijakan pendidikan di Indonesia.
Penguasa tidak pernah mengaca pada segenap kegagalan yang direproduksi berkali-kali. Pemerintah hanya bisa membusungkan dada ketika menyaksikan sebagian kecil siswa yang menerima kalungan medali. Tetapi, mereka abai terhadap berbagai persoalan masyarakat akibat kesalahan paradigma ini.
Institusi sekolah pun terseret untuk hanya berpikir "menyelamatkan mukanya" mengejar angka-angka ambius tanpa memiliki waktu untuk menanamkan nilai-nilai pada siswanya. Demikian pula ketika orangtua berjibaku dengan problem ekonominya ketika pemerintah menaikkan harga-harga. Anak-anak kita dari waktu ke waktu menjadi korban kesalahan generasi kita saat ini yang berpikir pendek.
Pendidikan bukan sekadar problem di sekolah saja, melainkan saling mengkait dengan seluruh aspek lingkungan di mana siswa berkehidupan, termasuk bagaimana pemerintah melahirkan kebijakan yang lebih mendorong tumbuhnya nilai-nilai positif.
Pendidikan bukan hanya berorientasi "angka". Pola berpikir seperti ini akan mereduksi pendidikan dalam kerangka kuantitas saja. Mereka yang beranggapan bahwa penambahan mata pelajaran akan membuat para murid akan belajar keras, padahal sering kebijakan ini justru membuat beban siswa semakin berat karena pendidikan tidak mememerdekan anak bangsa untuk menjadi dirinya sendiri. Siswa akan semakin kesulitan untuk menemukan ruang mendewasakan diri.
Kontroversi berbagai kebijakan pendidikan dari pemerintah cukup jelas menggambarkan betapa lemahnya visi pemerintah dalam kebijakan pendidikan selama ini. Visi adalah sebuah jangkauan terpanjang dari apa yang hendak dicapai dan dituju. Tetapi, kalau suatu kebijakan hanya diarahkan semata-mata untuk mengejar target, di mana visi pendidikan kita yang mencerdaskan itu? Inilah yang membuat paradigma pendidikan menjadi semakin tidak jelas.
Penulis adalah pemerhati dunia pendidikan
|
|
|
Posting Komentar